MedangKamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang Mataram. “Kamulan” berarti “permulaan”, sehingga “Medang Kamulan” dapat diartikan sebagai “pra-Medang”. Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti
Prasasti Canggal merupakan salah satu bukti sejarah akan keberadaan dan kebesaran kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini memiliki isi sebanyak 12 bait yang di dalamnya menerangkan mengenai berdirinya dinasti Sanjaya sebagai penguasa di wilayah Jawa serta berisikan mengenai sistem kepercayaan yang dianut oleh kerajaan Mataram Kuno. Pada bait kedua hingga bait keempat, berisikan syair mengenai pemujaan terhadap Dewa Siwa. Dengan adanya bait tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Kerajaan Mataram Kuno bercorak Hindu. Jadi, jawaban yang tepat adalah C PagaralamDiusulkan Jadi Daerah Cagar Budaya Sabtu, 20 Februari 2010 | 11:51 WIB PAGARALAM, SUMSEL.com — Banyak temuan peninggalan bersejarah dari zaman megalitik ribuan tahun lalu di Kota Pagaralam, Sumatera Selatan, yang jumlahnya mencapai ribuan menjadi bahan pertimbangan pengusulan kawasan - Candi Cangkuang adalah candi Hindu yang berada di Jawa Barat, tepatnya di Kampung Pulo, wilayah Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut. Bangunan ini merupakan candi yang pertama kali ditemukan di tanah Sunda dan menjadi candi Hindu satu-satunya di Sunda. Candi Cangkuang merupakan peninggalan kerajaan Sunda pertama yaitu Kerajaan bercorak Hindu, di dekat lokasi Candi Cangkuang terletak makam Embah Dalem Arief Muhammad, yaitu pemuka agama Islam yang dipercaya sebagai leluhur penduduk Desa Cangkuang. Nama Candi Cangkuang diambil dari nama desa tempat candi ini berada. Kata 'Cangkuang' sendiri adalah nama tanaman sejenis pandan, yang banyak terdapat di sekitar makam Arief Muhammad. Baca juga Candi Ijo Sejarah, Fungsi, dan Kompleks BangunanSejarah Candi Cangkuang Sejarah penemuan Candi Cangkuang bermula dari 1966, saat tim peneliti Harsoyo dan Uka Candrasasmita melakukan penelusuran berdasarkan laporan Vorderman, yang terbit pada 1893. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa ada sebuah arca yang rusak serta makam leluhur Arief Muhammad di Leles. Diperkirakan bahwa Candi Cangkuang adalah peninggalan agama Hindu dari sekitar abad ke-8. Sedangkan fungsi Candi Cangkuang adalah sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Siwa dan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu lainnya. Penelitian itu dilanjutkan pada 1967 dan 1968. Pada awalnya, hanya terlihat adanya batu yang merupakan reruntuhan bangunan candi dan di sampingnya terdapat sebuah makam kuno berikut sebuah arca Syiwa yang terletak di tengah reruntuhan.salamsejahtra sahabat cak berbagi video situs pemujaan dewa siwa lokasi berada di desa mojolebak kecamatan jetis kabupaten mojokerto.. situs
Oleh I Nyoman Dayuh, UNHI Lingga merupakan lambang Dewa Siwa, yang pada hakekatnya mempuriyai arti, peranan dan fungsi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat lampau, khususnya bagi umat manusia yang beragama Hindu. Hal ini terbukti bahwasanya peninggalan lingga sampai saat ini pada umumnya di Bali kebanyakan terdapat di tempat-tempat suci seperti pada pura-pura kuno. Bahkan ada juga ditemukan pada goa-goa yang sampai sekarang masih tetap dihormati dan disucikan oleh masyarakat setempat. Di Indonesia khususnya Bali, walaupun ditemukan peninggalan lingga dalam jumlah yang banyak, akan tetapi masyarakat masih ada yang belum memahami arti lingga yang sebenarnya. Untuk memberikan penjelasan tentang pengertian lingga secara umum maka di dalam uraian ini akan membahas pengertian lingga, yang sudah tentu bersifat umum. Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu Zoetmulder, 2000 601. Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa. Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat dihampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. Agastia, 2002 2 kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya Rao, 1916 69. Di India terutama di India selatan dan India Tengah pemujaan lingga sebagai lambang dewa Siwa sangat populer dan bahkan ada suatu sekte khusus yang memuja lingga yang menamakan dirinya sekte linggayat Putra, 1975 104. Mengenai pemujaan lingga di Indonesia, yang tertua dijumpai pada prasasti Canggal di Jawa Tengah yang berangka tahun 732 M ditulis dengan huruf pallawa dan digubah dalam bahasa Sansekerta yang indah sekali. Isinya terutama adalah memperingati didirikannya sebuah lingga lambang Siwa di atas sebuah bukit di daerah Kunjarakunja oleh raja Sanjaya Soekmono, 1973 40. Dengan didirikannya sebuah lingga sebagai tempat pemujaan, sedangkan lingga adalah lambang untuk dewa Siwa, maka semenjak prasasti Canggal itulah mulai dikenal sekte Siwa Siwaisme, di Indonesia. Hal ini terlihat pula dari isi prasasti tersebut dimana bait-baitnya paling banyak memuat/berisi doa-doa untuk Dewa Siwa. Dalam perkembangan berikutnya tradisi pemujaan Dewa Siwa dalam bentuk simbulnya berupa lingga terlihat pula pada jaman pemerintahan Gajayana di Kanjuruhan, Jawa Timur. Hal tersebut tercantum dalam prasasti Dinoyo yang berangka tahun 760 M isi prasasti ini antara lain menyebutkan bahwa raja Gajayana mendirikan sebuah tempat pemujaan Dewa Agastya. Bangunan suci yang dihubungkan dengan prasasti tersebut adalah candi Badut yang terdapat di desa Kejuron. Dalam candi itu ternyata bukan arca Agastya yang ditemukan melainkan sebuah lingga. Maka disini mungkin sekali lingga merupakan Lambang Agastya yang memang selalu digambarkan dalam Sinar Mahaguru. Soekmono. 1973 41-42. Peninggalan Arkeolog dari jaman Majapahit ialah di Sukuh dan Candi Ceto dari abad ke-15 yang terletak dilereng Gunung Lawu daerah Karanganyar Jawa Tengah. Pada puncak candi ini terdapat lingga yang naturalis tingginya 2 meter dan sekarang disimpan di museum Jakarta. Pemujaan lingga di candi ini dihubungkan dengan upacara kesuburan Kempers, 1959 102. Berdasarkan kenyataannya yang ditemui di Bali banyak ditemukan peninggalan lingga, yang sampai saat ini lingga-lingga tersebut disimpan dan dipuja pada tempat atau pelinggih pura. Mengenai kepercayaan terhadap lingga di Bali masih hidup di masyarakat dimana lingga tersebut dipuja dan disucikan serta diupacarai. Masyarakat percaya lingga berfungsi sebagai tempat untuk memohon keselamatan, kesuburan dan sebagainya. Mengenai peninggalan lingga di Bali banyak ditemui di pura-pura seperti di Pura Besakih, Pura-pura di Pejeng, di Bedahulu dan di Goa Gajah. Petunjuk yang lebih jelas lagi mengenai lingga terdapat pada kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung. Di dalam lingga purana disebutkan sebagai berikut ”Pradhanam prartim tatca ya dahurlingamuttaman. Gandhawarna rasairhinam sabdasparsadi warjitam”. Artinya Lingga awal yang mula-mula tanpa bau, warna, rasa, pendengaran dan sebagainya dikatakan sebagai prakrti alam. Jadi dalam Lingga Purana, lingga merupäkan tanda pembedaan yang erat kaitannya dengan konsep pencipta alam semesta wujud alam semesta yang tak terhingga ini merupakan sebuah lingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa Siwa lingga. Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa. Kemudian di dalam Siwaratri kalpa disebutkan sebagai berikut”Bhatara Siwalingga kurala sirarcanam I dalem ikang suralaya”. Artinya Selalu memuja Hyang Siwa dalam perwujudan-Nya “Siwalingga” yang bersemayam di alam Siwa. Jadi lingga merupakan simbol Siwa yang selalu dipuja untuk memuja alam Siwa. Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung ini semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa. Bentuk Lingga Haryati Subadio dalam bukunya yang berjudul “Jnana Siddhanta” dengan mengambil istilah Atmalingga dan Siwalingga atau sering disebut stana dan pada Dewa Siwa atau sering disebut sebagai ymbol kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Jnana Siddhanta disebutkan “Pranalo Brahma visnus ca Lingotpadah Siwarcayet”. Artinya Salurannya ialah Brahma dan Visnu dan penampakan lingga dapat dianggap sebagai sumber siwa. Dalam bahasa sansekerta pranala berarti saluran air, pranala dipandang sebagai kaki atau dasar lingga yang dilengkapi sebuah saluran air. Dengan istilah lingga pranala lalu di maksudkan seluruh konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, jadi lingga dan yoni. Kemudian lingga yoni, berkaitan dengan tri purusa yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, di mana Siwa dinamakan lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama dinamakan pranala sebagai dasar yaitu yoni. Sebuah lingga berdiri. Sesuai dengan uraian di atas lingga mempunyai bagian-bagian yang sangat jelas. Pembagian lingga berdasarkan bentuknya terdiri atas dasar lingga paling bawah yang pada umumnya berbentuk segi empat yang pada salah satu sisinya terdapat carat atau saluran air bagian ini disebut yoni. Di atas yoni yang merupakan bagian lingga paling bawah berbentuk segi empat disebut dengan Brahma Bhaga, bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnu Bhaga, sedangkan bagian atas berbentuk bulatan yang disebut Siwa Bhaga. Jadi bentuk lingga menggunakan konsep Tri Murti Brahma, Wisnu, Siwa ketiga bagian lingga tersebut kiranya dapat disamakan dengan konsepsi Bhur Bwah Swah. Lingga pada umumnya diletakkan di atas lapik yang disebut pindika atau pitha. Bentuk lapik ini biasanya segi empat sama sisi, segi empat panjang, segi enam, segi delapan, segi dua belas, bulat, bulat telur, setengah bulatan, persegi enam belas dan yang lainnya. Yang paling sering dijumpai adalah Lapik yang berbentuk segi empat Gopinatha Rao, 1916 99. Mengenai bentuk-bentuk dan puncak lingga ada banyak ragam antara lain berbentuk payung chhatrakara, berbentuk telur kukkutandakara, berbentuk buah mentimun tripusha kara, berbentuk bulan setengah lingkaran arddhacandrakara, berbentuk balon budbudhasadrisa Gopinatha Rao, 1916 93. Jenis-Jenis Lingga Berdasarkan penelitian dan TA. Gopinatha Rao, yang terangkum dalam bukunya berjudul “Elements Of Hindu Iconografi Vol. II part 1” di sini beliau mengatakan bahwa berdasarkan jenisnya Lingga dapat dikelompokkan atas dua bagian antara lain – Chalalingga – Achalalingga Chalalingga adalah lingga-lingga yang dapat bergerak, artinya lingga itu dapat dipindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengurangi suatu arti yang terkandung. Adapun yang termasuk dalam kelompok lingga ini adalah a. Mrinmaya Lingga Merupakan suatu lingga yang dibuat dari tanah liat, baik yang sudah dibakar. Dalam kitab Kamikagama dijelaskan bahwa pembuatan lingga ini berasal dari tanah liat putih dan tempat yang bersih. Proses pengolahannya adalah tanah dicampur susu, tepung, gandum, serbuk cendana, menjadi adonan setelah beberapa lama disimpan lalu dibentuk sesuai dalam kitab agama. b. Lohaja Lingga Yaitu suatu lingga yang terbuat dari jenis logam, seperti emas, perak, tembaga, logam besi, timah dan kuningan. c. Ratmaja Lingga Yaitu lingga yang terbuat dan jenis batu-batuan yang berharga seperti, permata, mutiara, kristal, jamrud, waidurya, kwarsa. d. Daruja Lingga Yaitu lingga yang terbuat dari bahan kayu seperti kayu sami, tinduka, karnikara, madhuka, arjuna, pippala dan udumbara. Dalam kitab Kamikagama disebutkan juga jenis kayu yang digunakan yaitu khadira, chandana, sala, bilva, badara, dan dewadara. e. Kshanika Lingga Yaitu lingga yang dibuat untuk sementara jenis-jenis lingga ini dibuat dari saikatam, beras, nasi, tanah pekat, rumput kurcha, janggery dan tepung, bunga dan rudrasha. Sedangkan yang dimaksud dengan Achala lingga, lingga yang tidak dapat dipindah-pindahkan seperti gunung sebagai linggih Dewa-Dewi dan Bhatara-Bhatari. Di samping itu pula lingga ini biasanya berbentuk batu besar dan berat yang sulit untuk dipindahkan. I Gusti Agung Gde Putra dalam bukunya berjudul “Cudamani, kumpulan kuliah-kuliah agama jilid I”, menjelaskan bagian lingga atas bahan yang digunakan. Beliau mengatakan lingga yang dibuat dari barang-barang mulia seperti permata tersebut spathika lingga, lingga yang dibuat dari emas disebut kanaka lingga dan bahkan ada pula dibuat dari tahi sapi dengan susu disebut homaya lingga, lingga yang dibuat dari bahan banten disebut Dewa-Dewi, lingga yang biasa kita jumpai di Indonesia dari di Bali khususnya adalah linggapala yaitu lingga terbuat dari batu. Mengenai keadaan masing-masing jenis lingga Gopinatha Rao dalam bukunya berjudul “Elements of Hindu Iconografi Vol. II part I” dapat dijelaskan, sebagai berikut a. Svayambhuva lingga. Dalam mitologi, lingga dengan sendirinya tanpa diketahui keadaannya di bumi, sehingga oleh masyarakat lingga yang paling suci dan lingga yang paling utama uttamottama. b. Ganapatya lingga. Lingga ini berhubungan dengan Ganesa, Ganapatya lingga yaitu lingga yang berhubungan dengan kepercayaan dibuat oleh Gana padukan Dewa Siwa yang menyerupai bentuk mentimun, sitrun atau apel hutan. c. Arsha lingga. Lingga yang dibuat dan dipergunakan oleh para Resi. Bentuknya bundar dengan bagian puncaknya bundar seperti buah kelapa yang sudah dikupas. d. Daivika lingga. Lingga yang memiliki kesamaan dengan Ganapatya lingga dan arsha lingga hanya saja tidak memiliki brahma sutra selempang tali atau benang suci, dipakai oleh brahman. e. Manusa lingga. Lingga yang paling umum ditemukan pada bangunan suci, karena langsung dibuat oleh tangan manusia, sehingga mempunyai bentuk yang bervariasi. Lingga ini umumnya mencerminkan konsep tri bhaga yang Brahma bhaga dasar, Wisnu bhaga badan dan Rudra bhaga puncak. Mengenai ukuran panjang maupun lebar menyamai pintu masuk tempat pemujaan utama.• WHD No. 437 Juli 2003 PemujaanDewa Siwa dengan media lingga sangat populer di Bali, dibuktikan dengan bayaknya jumlah lingga pada tempat-tempat suci di Bali, dengan berbagai bentuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna lingga di kawasan tersebut. Hasil penelitian dua mukha Dewa Siwa di bagian depan dan belakang (Rao dalam